Konsep Dasar Multiliterasi dan Pembelajarannya| By: Herman Dr

 


Konsep Dasar Multiliterasi dan Pembelajarannya

Pada awal kemunculannya, istilah literasi didefinisikan sebagai kemampuan memahami simbol-simbol bahasa atau kemampuan keaksaraan. Dalam pengertian awal ini, literasi dikonsepsikan dalam dua bidang utama, yakni bidang memabca dan menulis permulaan. Berdasarkan cakupan awalnya, literasi dipandang sebagai kondisi melek huruf, melek kata, dan melek makna. Istilah literasi dalam bidang bahasa pun semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan bertambahnya satu dimensi bahasa terlengkap dan teluas yakni wacana, sehingga muncullah istilah melek wacana. Sejalan dengan pergeseran makan wacana dari pengertian awal sebagai kesatuan bahas terbesar dan terlengkap menjadi segala sesuatu yang menjadi pokok pembahasan, istilah literasi wacana mulai digunakan berbagai bidang di luar ilmu bahasa. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa wacana pun secara konten dan konteks, tidak hanya berisi konsep bahasa melainkan berisi berbagai informasi dari beragam disiplin ilmu.

Bertemali dengan semakin luasnya konsep literasi wacana, istilah literasi pun mulai banyak dipakai dalam berbagai bidang ilmu secara terintegrasi dengan bidang kajian ilmu bahasa. Atas dasar inilah, literasi kemudian dipandang sebagai alat yang dapat digunakan untuk beroleh dengan mengkomunikasikan informasi. Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah ini terus berkembang menurut bidang ilmu masing-masing. Dalam bidang ilmu bahasa misalnya, dikenal istilah literasi membaca, yakni kemampuan memahami, menggunakan dan merefleksi teks melalui pelibatan langsung untuk memperoleh pengetahuan dalam rangka mencapai tujuan tertenu, serta untuk dapat berpartisipasi di dalam masyarakat. Dalam matematika, istilah ini berarti kapasitas individu untuk memformulasikan, membangun dan menginterpretasikan matematika dalam beragam konteks. Dalam bidang sains, literasi berarti kemampuan memahami, berpikir dan mengaplikasikan konsep dan perspektif sains dalam berbagai kejadian.

Walaupun istilah literasi berkembang sesuai dengan bidang ilmu yang didefinisikan, konsep awal literasi sebagai bagian ilmu bahasa masih dianggap melekat dalam pengertian yang beragam tersebut. hal ini tercermin dari berbagai konsep literasi yang ada pada berbagai bidang ilmu yang tetap menempatkan komunkasi sebagai salah satu dimensi literasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi apapun tidak dapat dipisahkan dari bidang ilmu bahasa. Hal ini dikarenakan bahasa merupakan alat utama untuk mmeperoleh dan menyebarluaskan pengetahuan. berdasarkan pemahaman ini, literasi tetap menempatkan bahasa sebagai sarana berpengetahuan. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip pembelajaran bahasa dapat digunakan sebagai alat pembelajaran literasi dalam bidang ilmu yang lain. Berdasarkan keragaman ini pulalah, istilah yang tepat digunakan untuk memadukan literasi sebagai alat komunikasi dan bidang ilmu yamg dikomunikasikannya adalah literasi lintas kurikulum.

Dalam perkembangannya, literasi yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu tersebut menggunakan berbagai media sebagai alat komunikasi dan pembentukan makna. Hal ini sejalan dengan berbagai keyakinan, bahwa upaya memahami informasi secara kritis tidak hanya dilakukan dengan menggunakan media berupa bahasa dalam pandangan sempit. Makna bisa lebih dipahami melalui penggunaan berbagai media komunikasi, seperti gambar, video, film, performa dan berbagai media literasi lain. Upaya penyampaian informasi pun bisa dilakukan melalui berbagai media sehingga tulisan tidak bisa dibatasi hanya sekadar tata bahasa linguistik, melainkan melewati batas-batas tata bahasa linguistik. Pandangan ini kemudian melahirkan istilah tatabahasa, teks multimodal dan akhirnya berujung pada konsep multiliterasi.

McConachi dkk (2010) memberikan istilah literasi disipliner untuk menggambarkan multiliterasi. Berdasarkan pendapatnya, literasi disipliner merupakan literasi yang menekankan penggunaan membaca, logika, penelitian, berbicara dan menulis untuk mempelajari dan membentuk pemahaman yang kompleks atas konten pengetahuan yang berhubungan dengan bidang keilmuan tertentu. Berdasarkan pendapatnya ini, pembelajaran multiliterasi senantiasa menggunakan keterampilan-keterampilan berbahasa sebagai alat utama dalam melakukan kegiatan inkuiri kritis, sekaligus sebagai sarana membangun pengertahuan. Pendapat ini sejalan dengan Ivanic (2009) yang menyatakan bahwa pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang memberikan tantangan kepada siswa untuk mengkaji dan menerapkan literasi praktis, yang berfungsi sebagai alat mediasi untuk mempelajari berbagai konsep lintas kurikulum.

Konsep multiliterasi juga dikemukakan oleh ahli lain yakni McKee dan Ogle (2005). Mereka memandang guna memberikan pengertian tentang multiliterasi, literasi pada awalnya harus dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan membaca, menulis, menyimak dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Selanjutnya, definisi ini diperluas dengan kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu. Berdasarkan perkembangan konsepsi literasi ini, multiliterasi didefinisikan sebagai keterampilan yang menempatkan kemampuan membaca, menulis, menyimak dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir meliputi kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber, dalam berbagai ragam disiplin ilmu, serta kemampuan dalam mengkomunikasikan informasi tersebut.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran, Baguley, Pullen dan Short (2010) memandang multiliterasi sebagai cara untuk memahami secara lebih luas kurikulum literasi yang dipelajari di sekolah formal, yang mendorong siswa agar mampu berpartisipasi secara produktif di dalam komunitas masyarakat. Secara konseptual, multiliterasi merupakan sebuah ancangan yang dapat digunakan untuk memahami beragam jenis teks dan beragam bentuk media yang dihasilkan berbagai teknologi baru, melalui konsep pedagogik yang memberikan guru peluang untuk menyajikan informasi kepada siswa dengan menggunakan beragam bentuk teks dan media.

Berdasarkan konsepsi di atas, konsep multiliterasi dikembangkan atas sifat multimodal lintas budaya yang terdapat dalam teks yang diajukan media komunikasi digital. Aspek lintas budaya ini menyebabkan perubahan dan rekonstruksi makana yang diikuti oleh terjadinya pergeseran budaya, yang berkontribusi pada perubahan identitas dan praktis literasi dari tulisan menuju literasi visual. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, penggunaan beragam jenis bentuk teks dan media memberikan siswa peluang untuk memahami beragam jenis makna yang berbeda. Teks yang bersifat multimodal juga mendorong siswa untuk berpengalaman mengintrepretasikan informasi, baik dalam tataran konteks global maupun lokal.

Multiliterasi juga dapat dipersepsikan sebagai penggunaan beragam media baik cetak, audio, maupun spasial. Dalam konteks pendidikan, peran pedagogik adalah mengembangkan epistimologi pluralism yang menyediakan akses, tanpa orang harus menghapus atau meninggalkan perbedaan subjektivitas. Lebih lanjut, pedagogic multiliterasi memusatkan perhatian pada penggunaan lapisan multimodal dunia siswa di dalam kelas. Hal ini dilakukan untuk meminangkan siswa dengan alat-alat dan teknologi yang telah akrab dengan mereka. Dengan kata lain, multiliterasi memungkinkan siswa menggunakan beragam media teknologi yang akrab bagi mereka, sebagai sarana belajar.

Pengembangan konsep multiliterasi dalam dunia pendidikan sebenarnya tidak terlepas dari konsep pedagogic berbasis seni, multiple ways of knowing, dan multipelintelegensi, yang telah terbukti memberikan nilai dalam meningkatkan efektivitas lingkungan belajar bagi siswa. Bertemali dengan hal ini, multiliterasi juga diyakini mampu mengembangkan kreativitas tingkat tinggi sebagai keterampulan paling penting bagi siswa. Pendidikan multiliterasi juga diyakini membantu siswa untuk memahami perbedaan sosial budaya, serta pentingnya penguasaan dan pengembangan keterampilan dalam bidang teknologi komunikasi. Multiliterasi bertujuan menjadikan praktik literasi di sekolah sebagaimana praktik literasi di rumah dan di lingkungan informal. Dalam pandangan ini, multiliterasi merupakan pendekatan belajar yang dikembangkan berdasarkan kesadaran dan pengakuan atas keberagaman dan kompleksitas perspektif budaya siswa, serta keberagaman gaya belajar yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan multiliterasi diyakini mampu menjembatani siswa untuk dapat belajar dan berkaya pada abad ke-21 ini.

The New London Group (2005) menyatakan bahwa pedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen atau proses pengetahuan, yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis, dan transformasi praktis. Cope dan Kalantzis (2005) lebih lanjut menyatakan bahwa keempat komponen ini merupakan satu kesatuan utuh yang memperkuat satu sama lain. Situasi praktis memungkinkan guru memahami latar belakang sosial budaya siswa, serta menyediakan rangkaian pembelajaran yang penting bagi pembentukan identitas siswa. Pembelajaran yang jelas dari guru merupakan pemodelan, penjelasan, ataupun teorisasi yang disediakan untuk membantu siswa membangun wawasan dan pemahaman yang menalam. Bingkai kritis (kritik bingkai) digunakan sebagai alat bantu bagi siswa agar mereka mampu bekerja secara inovatif, melalui pengembangan kapabilitas kritis kreatifitnya. Praktik transformative merupakan cara pembuktian tugas-tugas performative dilakukan. Praktik ini berkenaan dengan balikan kritis terhadap guru, sedangkan siswa berkenaan dengan kebermanfaatan dan kreativitas tugas.

Berdasarkan keempat komponen pedagogik multiliterasi di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika situasi praktis dihubungkan dengan konsep pembelajaran scaffolding melalui pembelajaran yang jelas, akan menjadi sebuah wahana bagi pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analisis. Pembelajaran yang jelas tentu merupakan konsep pembelajaran berbasis aktivitas. Hal ini memungkinkan siswa belajar sesuai dengan tahapan perkembangan dan gaya belajarnya. Selanjutnya, ketika bingkai kritis dihubungkan dengan praktik transformative, hal ini akan membentuk reflektif praktis dan menjadi kritik berbasis praksis disbanding kritik berbasis ideologi yang abstrak. Sejalan dengan konsepsi ini, Cope dan Kalantziz (2005) menyatakan bahwa pedagogic multiliterasi menyajikan sebuah pengalaman belajar yang efektif dan efisien.

Selanjutnya Iyer dan Luke (2010) menyatakan bahwa siswa yang belajar melalui pendekatan multiliteasi akan beroleh pemahaman yang tinggi. Pemahaman ini merupakan buah atas pembelajaran proaktif yang dilakukannya. Dalam pandangan Iyer dan Luke (2010) pembelajaran proaktif merupakan pembelejaran yang dikembangkan atas asas-asas pembelajaran, yang meliputi tahapan mengalami, mengonseptualisasi, menganalisis, dan mengaplikasi. Asas mengalami mengandung makna bahwa siswa belajar melalui kegiatan memadukan pengetahuan ayng telah dimilikinya dengan pengetahuan baru yang dipelajarinya melalui pembelajaran bermakna.

Konseptualisasi mengandung pengertian bahwa konsep abstrak dan teori disintesiskan melalui proses penanaman dan peneorian. Hal ini akan menjembatani siswa untuk mampu mendefinisikan, mengaplikasikan konsep dan memahami generalisasi makna abstrak ke dalam sebuah representasi konsep maupun representasi visual. Analisis mengandung pengertian bahwa pembelajaran dikembangkan melalui kegiatan menganalisis dan mengiterpretasikan fungsi kecakapan, melalui pemahaman peran pengetahuan dan dikritisi oleh tujuan analisis yang telah ditetapkan. Aplikasi mengandung makna bahwa pengetahuan dikreais melalui pemahaman peran pengetahuan dan dikritisi oleh tujuan analisis yang telah ditetapkan. Aplikasi mengandung makna bahwa pengetahuan dikreasi melalui pemahaman atas kepantasan situasi. Melalui pemahaman situasi ini, pengetahuan diaplikasikan dan diperluas sehingga akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru.

Bertemali dengan uraian-uraian di atas, Cope dan Kalantzis menyatakan bahwa penggunaan istilah multiliterasi didasarkan atas dua argument yang erat hubungannya dengan budaya, institusi pendidikan dan tuntutan global. Alasan pertama istilah ini dugnakan adalah bahwa dalam mengomunikasikan informasi dapat digunakan beragam media. Alasan kedua adalah bahwa istilah ini memiliki arti yang sangat penting dalam meningkat arti penting bahasa dan budaya bagi perkembangan kapabilitas seseorang. Dengan demikian, pendidikan multiliterasi memiliki beragam fokus penggunaan bahasa yang akan sangat bergantung pada bidang ilmu yang dibahas, konteks budaya yang memengaruhinya, dan efek sosial yang dihasilkannya.

Berdasarkan sejumlah pemikiran tentang multiliterasi, Gambar 1.1 merupakan rangkuman konsep multiliterasi dan implikasinya bagi pembelajaran multiliterasi. Berdasarkan gambar tersebut, dapat dikemukakan bahwa multiliterasi berkenaan dengan multikonteks, multimedia dan multibudaya. Multiliterasi dikatakn mulkonteks sebab keterampilan ini tidak hanya berkenaan dengan salah satu konteks, melain beragam konteks, baik konteks situasi maupun konteks keilmuan. Konteks situasi merupakan konteks di luar teks yang dapat digunakan untuk memahami isi teks. Konteks keilmuan berarti teks yang dipelajari merupakan teks yang tidak hanya merujuk pada satu bidang keilmuan tertentu, melainkan merujuk pada berbagai bidang ilmu. Dengan demikian, keterampilan multiliterasi bersifat lintas disiplin ilmu atau lintas kurikulum.

Selain berkenaan dengan multikonteks dan multimedia, multiliterasi juga berkenaan dengan multibudaya. Konsep ini sejalan dengan konsep literasi kritis yang memandag sebuah teks tidak bersifat tunabudaya. Sebuah teks yang disusun akan sangat dipengaruhi oleh disposisi penulisnya terhadap dimensi-dimensi budaya tertentu. Unsur lain yang biasanya sangat memengaruhi teks adalah latar belakang penulis tersebut, baik suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, keyakinan, pandangan politik, dan konsep filsafat yang dianutnya. Berkenaan dengan kondisi ini, multiliterasi merupakan konsep nyata literasi kritis, sekaligus menjadi perwujudan pedagogik kritis dalam bidang pendidikan.

Sejalan dengan konsep multiliterasi di atas, pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan atas dasar komponen-komponen dasar multiliterasi. Pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan atas dasar keberagaman kemampuan siswa, baik dari sisi kecerdasan, gaya belajar, maupun modal berlajarnya. Ditinjau dari sisi multiintelegensi, pembelajar multiliterasi merupakan pembelajaran yang memanfaatkan beragam kecerdasan yang dimiliki siswa. Dalam mempelajari konsep sains misalnya, guru dapat menggunakan kecerdasan special dan musical pada siswa, sehingga siswa yang memiliki kecerdasan tersebut dapat dengan mudah memahami konsep sains yang dipelajarinya.

Dalam merepresentasikan pemahamannya, siswa juga dapat menggunakan teks yang bersifat multimodal/multimodus. Teks yang demikian merupakan teks yang tidak hanya dibatasi dengan kata-kata, namun lebih luas dapat berwujud gambar, visual, performa, musical ataupaun teks digital berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Melalui pemanfaatan teks yang bersifat multimodal ini, siswa tidak hanya dituntut menyajikan pemahaman melalui bahasa tertulis, melainkan bisa menggunakan literasi lainnya. Keberagaman cara merepresentasikan pemahaman ini diyakini mampu menjembatani siswa, untuk lebih menguasai dan mengembangkan proses, konsep dan sikap keilmuan yang dipelajarinya.

Sejalan dengan digunakannya teks multimodal dan dimanfaatkannya multiintelegensi yang dimiliki siswa, pembelajaran multiliterasi dilaksanakan dengan mempertimbangkan multigaya belajar siswa. Siswa tidak hanya menggunakan beragam gaya belajar. Di sisi lain, siswa yang hanya memiliki satu gaya belajar akan pula mampu belajar dengan baik. Hal ini dikarenakan gaya belajar yang dimilikinya dapat digunakan secara optimal dalam mempelajari berabgai konsep, dan proses dan sikap keilmuan. Dengan demikian gaya belajar visual, spasial, kinestetik, auditor, bahkan imajinatif, serta beragam gaya berlajar lainnya dapat digunakan sebagai sarana utama keberhasilan pembeljaaran multiliterasi.

Sejalan dengan konsepsi multiliterasi dan pembelajaran multiliterasi di atas, multiliterasi dan pembejalarannya bermuara pada kepemilikan multikompotensi. Melalui pembelajaran multiliterasi, siswa tidak hanya beroleh satu kompetensi, melainkan beragam kompetensi, baik kompetensi keilmuan, kompetensi berpikir, maupun kompetensi sikap dan karakter. Menilik kenyataan ini, multiliterasi dan pembelajarannya merupakan jembatan nyata dalam mengembangkan siswa agar mampu hidup dan berkehidupan pada abad ke-21. Hal ini dikarenakan multiliterasi dan pembelajarannya bertujuan membentuk siswa yang siap dari berbagai segi dalam menjalani kehidupannya, baik di sekolah, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Multiliterasi dan pembelajaran multiliterasi merupakan potrer nyata kehidupan sehingga jika potret nyata ini telah dikuasai siswa selama menempuh pendidikan, siswa akan siap untuk menempuh kehidupan yang sebenarnyaa. Oleh sebab itu, wajarlah jika banyak ahli yang memandang multiliterasi merupakan konsep terpenting dalam konteks pendidikan abad ke-21.

Konsep multiliterasi sebagai konsep penting pendidikan abad ke-21 dipertegas oleh marocco (2008: 5) yang menyatakan bahwa kompetensi terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah kompetensi abad ke-21. Kompetensi belajar dan berkehidupan dalam abad ke-21 ini ditandai dengan empat hal penting, yakni kompetensi pemahaman yang tinggi, kompetensi berpikir kritis, kompetensi berkolaborasi dan berkomunikasi, serta kompetensi berpikir kritis. Dalam pandangan mereka mereka, kompotensi-kompetensi ini dilandasi dan difasilitasi oleh keterampilan multiltierasi

Secara lebih terperinci, dapat dijelaskan bahwa kompetensi pemahaman pengetahuan merupakan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memiliki pemahaman tentang berbagai ilmu pengetahuan. pemahaman atas ilmu pengetahuan ini minimal pemahaman terhadap bidang keahlian yang digelutinya. Sejalan dengan kenyataan ini, diperlukan serangkain upaya untuk untuk mengembangkan tingkat pemahaman seseorang terhadap pengetahuan yang harus dikuasainya.

Kompetensi berpikir kritis merupakan kemampuan mendayagunakan daya pikir dan daya nalar seseorang, agar mampu mengkritis berbagai fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kemampuan berpikir kritis ini biasanya diawali dengan kepkaan seseorang terhadap sesuatu hal, kemudian diikuti kemampuan orang tersebut dalam mengevaluasi/menilai hal tersebut berdasarkan sudut pandang yang digunakannya. Melalui kemampuan berpikir kiritis ini, seseorang akan mampu menempatkan dirinya secara tepat pada berbagai situasi yang dialaminya. Selanjutnya, ia kan mampu mengubah segala situasi yang tidak menguntungkan pada dirinya, menjadi lebih berpihak kepadanya.

Kompetensi kolaborasi dan komunikasi merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk bekerja sama dan berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan ini merupakan kemampuan yang penting dikuasai agar seseorang mampu bersinergi dengan orang lain, sekaligus menunjukkan eskistensinya di hadapan orang-orang di sekitarnya. Meallui penguasaan kompetensi ini pula, seseorang akan dapat menyampaikan berbagai pandangan kritisnya kepada orang lain, serta mampu mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain. Dengan demikian, ia akan senantiasa mampu berguna bagi lingkungannya.

Kompetensi berpikir kreatif berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk menghasilkan gagasan, proses, maupun produk yang bernilai lebih, unik dan memiliki sifat kebaruan. Kesanggupan seseorang menghasilkan ide kreatif ini diyakini akan membukakan kesempatan baginya untuk beroleh pekerjaan, penghidupanm dan kehidupan yang lebih layak di dalam situasi dunia yang semakin padat penduduk. Kompetensi kreatif lebih jauh akan mampu meningkatkan daya saing seseorang sehingga akan memberikan sejumlah peluang baginya, untuk tetap dapat memenuhi segala kebutuhannya.

Sejalan dengan uraian di atas, pembelajaran multiliterasi dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan multiliterasi, dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Pembelajaran ini diorientasikan bagi pengembangan dan penggunaan keempat kompetensi abad ke-21, yakni kompetensi berpikir kritis, kompetensi pemahaman konseptual, kompetensi kolaboratif dan komunikatif, serta kompetensi berpikir kreatif.[1]

 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Teman-Temanku di Pascasarjana (M) Lokal PAI C 23

Mengomentari Statement Prilly Latuconsina mengenai cewek Independen yang semakin banyak dan cowok mapan yang terhitung sedikit

Tokoh Pendidikan dan Pemikirannya #2 Lev Vygotsky |By: Herman Dr