Pengertian takdir pada sisi yang berbeda | By: Herman Dr
Allah
SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Maha penyayang. Kesempurnaannya
ini tidak hanya sebatas apa yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi dan
tentu semuanya memiliki arti nan indah dan paling istimewa diantara sifat sifat
yang pernah kita ketahui.
Allah
SWT dengan kemahakuasaannya telah menciptakan makhluk yang bernama manusia
dimuka bumi untuk tujuan tertentu, maka meyakini akan adanya sang khaliq adalah
keharusan dan menafikannya adalah sebuah kebodohan.
Sejatinya
manusia itu adalah makhluk yg lemah, tercipta dari tanah dan kembali lagi
ketanah. Manusia tiada kuasa melakukan sesuatu selain karena atas izin Allah
SWT. Segala yang dilakukan sehari hari, baik dalam kegiatan keagamaan, social,
makan, minum dan sebagainya adalah karena sesuatu yang sudah ditetapkan.
Maksud
dari sesuatu yang sudah ditetapkan disini tentunya adalah hal yang bukan
berasal dari manusia, karena jika manusia yang menetapkan sesuatu berarti dia
memiliki kendali akan sesuatu itu, tapi nyatanya tidak demikian. Sebagai
contoh, manusia cenderung memiliki naluri untuk bertahan hidup, maka dari itu
segala hal pasti dilakukan agar bisa survive dan hidup lebih lama karena alasan
tujuan tertentu ataupun tidak. Tapi dalam kenyataannya manusia tidak bisa
menghilangkan rasa lapar, namun di sisi lain manusia selalu ingin rasa lapar
itu hilang, maka manusia harus mengkonsumsi sesuatu untuk menghilangkan rasa
lapar itu. Begitulah kira kira analogi nya bahwa manusia adalah makhluk yang
lemah dan tidak bisa menetapkan sesuatu, maka jika manusia bisa menetapkan
sesuatu sudah pasti yang ditetapkan adalah bukan mencari makanan tapi menghilangkan
rasa lapar itu selama-lamanya.
Mungkin
sekiranya ada pernyataan, “manusia bisa kok menetapkan sesuatu, ketika manusia
ingin membuat rumah ditanah yang sudah ia beli maka itu akan terjadi”. Dalam
hal ini sangat mudah untuk diluruskan bahwasannya manusia hanya berkuasa untuk
MAU/INGIN akan sesuatu tapi tidak BISA akan sesuatu. Manusia selalu ingin
sesuatu yang baik-baik itu terjadi pada hidupnya maka timbulah harapan-harapan
yang menghiasi pikirannya untuk mendapatkan itu. Tapi harapan itu tetap lah sebuah
harapan karena sekalipun dia berjuang jika bukan karena Allah ridho akan
tujuannya dan jika bukan karena Allah pula yang mempermudah segala urusannya
maka hal itu mustahil untuk di capai. Jadi sekali lagi bahwa manusia
selalu INGIN/MAU terhadap sesuatu tapi
dia tidak BISA akan sesuatu tersebut. Mari kita ambil contoh ringannya,
seseorang ingin sekali pergi kesuatu tempat liburan, dengan segala persiapan
waktu, materi, semua telah dicukupkan. Tapi ternyata ketika ingin menaiki alat
transportasi, ada kabar yang datang bahwa tempat yang ingin dikunjunginya
tersebut sudah hancur karena bencana alam yang tiba tiba, maka diurungkanlah
niatnya untuk pergi ketempat itu selamanya.
Permisalan
yang disebutkan diatas terjadi karena semata mata adanya sebuah takdir. Sebuah
ketetapan yang Allah berikan kepada hambanya agar hamba itu berfikir bahwa
kehidupannya telah dikendalikan. Sejalan dengan firman Allah SWT dalam
QS.Al-An’am surah ke 6 ayat : 59.
“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada
pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada
didarat dan dilaut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak
diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula
sesuatu yang basah atau kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfudz)”
(Adapun
surat semisal terdapat pula pada QS.
Al-hadid : 22, QS. As-saba : 3, dan masih banyak lagi).
Takdir
adalah sebuah ketentuan dari Allah SWT yang diberikan kepada hambanya agar
semua yang terjadi dimuka bumi itu beraturan, serasi dan tidak rusak. Maka
apapun yang dilakukan manusia sejatinya adalah sebuah takdir.
Takdir
merupakan hal yang pasti akan terjadi dimasa depan dan sesuatu yang akan benar
benar terjadi, berfikir untuk menghindari takdir adalah kebodohan, karena pada
dasarnya kita hidup didunia hanya mengikuti jalur yang sudah ada di depan mata
kita, hanya saja kita tidak bisa menyadari karena hal itu merupakan hal yang
ghaib. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi dimasa depan, tapi yang perlu
digaris bawahi bahwa masa depan pasti terjadi.
Takdir
manusia adalah tercipta dari tanah, tapi takdir itu berlaku hanya kepada
manusia pertama yakni Adam AS, seperti yang termaktub dalamm QS.
Al-baqarah(2):30-38. Penciptaan dari tanah tidak berlaku bagi keturunannya,
hingga disebutkan dalam Qur’an surat As-Sajdah ayat 7-8
“Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina(nutfah)”
Bagi orang yang beriman, tidak ada
yang menyela bahwa manusia pada awalnya tercipta dari tanah, dan hal itu tidak
dapat dipinta. Begitupun dengan keturunannya, bahwa tidak ada yang menafikan
bahwa mereka(keturunan Adam As) ada karena sebuah air yang dianggap hina dan
sesuatu yang harus ditutupi, tapi itulah yang terjadi. Maka jika kita bisa
meminta untuk diciptakan dari hal lain, tentulah kita akan minta dari sebuah
bentuk yang terbaik, namun hal itu tidak dapat dirubah karena itu merupakan
ketentuan yang sudah ditetapkan.
Seperti yang disampaikan diatas
bahwa ada ketentuan yang tidak bisa dirubah seperti yang telah disebutkan, maka
mau tidak mau mensyukurinya adalah sikap yang terbaik agar kita mendapat ridho
disisi Allah SWT. Tapi nampaknya ada pernyataan yang sering sekali disampaikan
kepada teman-teman baik dalam lingkungan pendidikan ataupun buku literasi yang
membahas tentang takdir, bahwa takdir itu terbagi menjadi dua, takdir mubram(takdir
yang tidak bisa dirubah) dan takdir muallaq(takdir yang bisa dirubah).
Hal
pertama yang ingin saya sampaikan dalam tulisan yang jauh dari kesempurnaan ini
adalah bahwa manusia tidak mempunyai kuasa dalam mengubah takdir yang
ditentukan oleh Allah. Karena semua yang dilakukan dari pagi hingga pagi lagi
tidak akan terjadi melainkan semua telah tertulis dalam benang takdir.
Pernyataan semacam itu hanyalah sebuah dalih untuk membenturkan kebenaran
lauhul mahfudz, menyandingkannya dengan pikiran dan keinginan manusia hingga
dapat melemahkan kebenaran yang ada didalamnya. Bayangkan saja jika Allah
memberi kuasa kepada manusia agar mereka dapat mengubah takdir yang telah Allah
tetapkan, berarti Allah tidaklah maha kuasa dan tidak konsisten na’udzubillahi
mindzalik. Kenapa demikian, karena jika manusia bisa mengubah takdir yang telah
ditentukan berarti apa yang Allah tentukan bukanlah sebuah keputusaan yang
terbaik, bukanlah sebuah ketetapan yang sempurna dan bukanlah sesuatu yang
harus diikuti. Dengan begitu terasumsi bahwa keputusan dan usaha manusia lah
yang terbaik dari sebuah ketetapan. Maka hilanglah kewibawaan Tuhan jika dalam
hal ini dinyatakan. Mengubah takdir tidak hanya menimbulkan fitnah, tapi
membuat manusia berfikir bahwa semua yang terjadi adalah karena memang tidak
ada yang bisa mengaturnya, maka tidak heran banyak umat manusia yang tidak
mempercayai tuhan sama sekali.
Mari
kita bedah sebuah firman Allah surat Al-baqarah (2) ayat 30-38 tentang
penciptaan manusia pertama yakni Adam As. Benarkah Adam As itu di usir dari
surga? Jika kita teliti lagi bahwa sebenarnya Adam As tidak pernah di usir dari
surga Allah, melainkan mereka diciptakan memang untuk diturunkan dibumi. Banyak
anggapan bahwa Adam As memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah
sehingga menyebabkan dia diusir dari surga kebumi, sebagaimana QS Al-Baqarah(2)
: 36
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Dari sini memang jelas bahwa Adam As diturunkan dari surga akibat sebuah kesalahan yang diperbuatnya karena mengikuti tipu daya dari syaiton. Tetapi tidak serta merta kita menganggap bahwa memang Allah berniat untuk mengusir Adam As. Ini hanyalah proses dari sebuah pelajaran yang dapat diambil hikmah. Maka mari kita kembali kepada ayat 30.
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Jika dipahami secara bahasa memang demikian, namun kalau kita perhatikan ada proses disana, proses yang sempurna yang secara tidak sadar sebenarnya adalah sebuah pelajaran yang harus kita pikirkan karena kebaikan yang ada pada cerita itu sangat luar biasa. Bahwa pada dasarnya topic utamanya adalah bukan ketika Adam As melakukan kesalahan dan diturunkan ke bumi, melainkan memanglah ketetapan Allah bahwa Adam As memang harus turun kebumi untuk di jadikan khalifah, maka seperti ini lah Tuhan yang seharusnya. Karena ketika Allah menjadikan manusia sebagai penduduk bumi itu tidak saja langsung dijadikan seperti itu melainkan ada pelajaran didalamnya. Ini salah satu bukti bahwa semua sudah teratur. Mulai dari malaikat yang bertanaya, Adam As yang di istemawakan dengan akalnya, kemudian adanya pohon disurga yang entah kenapa Cuma pohon itu yang dilarang, kemudian dimunculkannya sifat asli dari makhluk bernama syaitan yang entah kenapa pula syaitan seakan-akan harus membuat Adam As mengikuti kemauannya dan mendapat hukuman dari Allah, dan lagi Allah yang maha mengetahui juga membiarkan hal itu terjadi seolah-olah memang ada sebuah naskah yang telah ditulis, yang pemerannya adalah manusia dan syaitan, Allahu Akbar!.
Masih
di ayat 30, ada pernyataan yang menarik dari malaikat “Mengapa Engkau hendak menjadikan di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…” malaikat yang mungkin tau sedikit kebenarannya
berbicara tentang sebuah takdir, bahwa Allah menciptakan makhluk yang nantinya
berpotensi akan membuat kerusakan, padahal Allah belum menjadikan Adam
melainkan hendak menjadikannya. Perkataan malaikat ini ternyata memanglah benar
terjadi, begitu banyak kerusakan dan pertumpahan darah yang terjadi antar
sesama manusia. Ini menandakan bahwa takdir tidak bisa diubah, sekalipun
manusia itu berfikir bahwa pertumpahan darah itu atas kemauan dan ketamakan
mereka, tapi kejadian itu sudah di mantion oleh malaikat bahwa hal yang
demikian itu memang akan terjadi. Kemungkinan pertama adalah malaikat sudah
meliat beberapa tulisan di lauhul mahfudz dan kemungkinan yang lain bahwa
malaikat telah diberi tahu Allah SWT tentang sifat manusia yang akan
diciptakan-Nya itu, Wallahu a’lam.
Faidahnya adalah bahwa dalam penciptaan manusia sebelum
maupun sesudahnya, semua tidak terjadi melainkan sudah diatur dan ditetapkan.
Kita hanyalah actor dalam sebuah scenario yang Allah buat, dan mau tidak mau secara
sadar atau tidak kita akan berlakon sesuai naskah yang telah ditulis.
Kesimpulannya bahwa takdir tidak bisa diubah sekalipun berkaitan dengan
perilaku manusia itu sendiri.
Jika sekiranya ada anggapan dari sebagain orang dengan
mengatakan “Lah terus bagaimana dengan doa doa dan usaha manusia yang ingin
merubah hidupnya lebih baik, atau manusia yang meminta kepada Allah dan
dikabulkan, apakah itu semua juga sudah tertulis? Padahalkan proses nya kita
yang usaha dan kita yang minta?”
Jika berbicara tentang usaha memang tidak jauh dari yang
namanya perubahan, karena usaha memanglah menuntut perubahan. Tapi jika
berhubungan dengan takdir hal itu tidak berlaku, karena kita tidak bisa merubah
melainkan memilih.
Ini adalah point inti yang ingin saya bahas, bahwa
sebenarnya takdir itu ada yang bisa dipilih dan ada yang tidak bisa dipilih.
Takdir yang tidak bisa dipilih berarti takdir dari Allah yang tidak bisa
dielakan dan tidak bisa dinafikan. Seperti lahir menjadi perempuan atau
laki-laki, lahir yang mungkin dalam keadaan premature, terkena musibah,
bencana, memiliki rasa lapar, ketergantungan dengan sesuatu. Itu adalah sebuah
ketetapan pada diri manusia yang tidak bisa dipilih sama sekali. Adapun takdir
yang bisa dipilih adalah seperti memilih untuk bertaubat, menghindari maksiat,
melaksanakan perintah spiritual, berlaku baik ke orang orang, dan lain lain.
Jadi sebenarnya manusia itu diberikan dua takdir dalam satu kondisi, yang
dimana dalam takdir yang dapat dipilih, manusia akan mengambil keputusan terhadapnya.
Mari kita permudah dengan teori “Lapar Makan”.
Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa sebenarnya
manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak memiliki kuasa atas apapun
melainkan semuanya telah ditakdirkan. Dengan begitu, jika manusia adalah salah
satu makhluk yang bisa lapar maka manusia harus mencari makan. Dalam kasus ini
pun manusia mempunyai dua pilihan yaitu makan atau tidak makan. Jika manusia
memilih untuk makan berarti dia telah memutuskan mengambil takdirnya untuk
hidup, dan jika manusia tidak memilih untuk makan berarti dia telah memutskan
mengambil takdirnya untuk mati. Maha adil Allah dengan segala ketetapannya. Dari
sini kita belajar bahwa rasa lapar adalah takdir yang tidak bisa dipilih maka
dari itu manusia akan terus merasakan lapar. Disisi lain manusia diberi hak
untuk memilih takdir berikutnya yang Allah tawarkan kepadanya yaitu makan atau
tidak makan, tentu saja dengan segala konsekuensi nya. Sejalan dengan kisah
dari Umar Ibn Khattab dengan penyakit Tha’un di Syam.
Wabah
penyakit Tha'un yang pernah terjadi pada masa Ibnu Zubair, yaitu pada bulan
Syawal tahun 69 Hijriyah. Dalam kejadian itu ribuan orang meninggal dunia.
Dari
'Abdullah bin 'Amir bin Rabi'ah, "Suatu ketika Umar bin Khatthab pergi ke Syam. Setelah sampai di
Saragh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Maka
'Abdurrahman bin 'Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam (SAW) telah bersabda: 'Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di
suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu
berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu
karena hendak melarikan diri darinya.' Maka Umar pun kembali dari Saragh. Dan
dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah; bahwa Umar kembali bersama
orang-orang setelah mendengar Hadits Abdurrahman bin Auf".
(Shahih Muslim No. 4115)
Ketika
Umar pergi ke Syam, setelah sampai di Saragh, pimpinan tentara datang
menyambutnya. Antara lain terdapat Abu "Ubaidah bin Jarrah dan para
sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada 'Umar bahwa wabah penyakit sedang
berjangkit di Syam. Ibnu Abbas berkata; 'Umar berkata; 'Panggil ke sini para
pendahulu dari orang-orang Muhajirin! '
Maka
kupanggil mereka, lalu 'Umar bermusyawarah dengan mereka. Kata 'Umar; 'Wabah
penyakit sedang berjangkit di Syam. Bagaimana pendapat kalian? ' Mereka berbeda
pendapat. Sebagian mengatakan kepada 'Umar; 'Anda telah keluar untuk suatu
urusan penting. Karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya Anda akan pulang
begitu saja.'
Sebagian lain mengatakan; 'Anda datang membawa rombongan besar yang di sana terdapat para sahabat Rasulullah SAW. Kami tidak sependapat jika Anda menghadapkan mereka kepada wabah penyakit ini.' Umar berkata: 'Pergilah kalian dari sini! ' Kemudian 'Umar berkata lagi: 'Panggil ke sini orang-orang Anshar! '
Maka
aku memanggil mereka, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Ternyata
kebijaksanaan mereka sama dengan orang-orang Muhajirin. Mereka berbeda pendapat
seperti orang-orang Muhajirin. Maka kata 'Umar; 'Pergilah kalian dari sini! '
Kata Umar selanjutnya; 'Panggil ke sini pemimpin-pemimpin Quraisy yang hijrah
sebelum penaklukan Makkah!' Maka aku (Ibnu Abbas) memanggil mereka.
ternyata
mereka semuanya sependapat, tidak ada perbedaan. Kata mereka; 'Kami
berpendapat, sebaiknya Anda pulang saja kembali bersama rombongan Anda dan
jangan menghadapkan mereka kepada wabah ini. Lalu Umar menyerukan kepada
rombongannya "Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu
bersiap-siaplah kalian!" Kemudian Abu 'Ubaidah bin Jarrah bertanya;
"Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?" Umar menjawab: 'Mengapa
kamu bertanya demikian hai Abu 'Ubaidah?
Agaknya
Umar tidak mau berdebat dengannya. Beliau menjawab: "Ya, kita lari dari
takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau
mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi.
Yang satu subur dan yang lain tandus.Bukanlah jika engkau menggembalakannya di
tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau
menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah?"
Di
tengah perbincngan Umar dengan Abu 'Ubaidah tiba-tiba datang sahabat Nabi
bernama Abdurrahman bin 'Auf yang belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia
berkata: "Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
"Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu
datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu
berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan
diri."
|
Seperti ilustrasi di
atas bahwa manusia akan selalu mempunyai dua pilihan takdir dalam setiap
kondisi yang sama di waktu yang sama mau pun diwaktu yang lainnya. Di setiap
jalan apapun yang dipilih semuanya tidak akan lepas dari pertemuan dengan
takdir yang mengarah kepada kebaikan dan takdir yang mengarah kepada keburukan.
Maka tidak heran, ketika kita menemui ada orang yang a’lim tapi akhirnya sesat
dan maksiat, begitu pula orang yang dulunya maksiat kemudian bertobat.
Dengan begini Maha
Penyayang Allah sempurna terlihat, bahwa disetiap kesempatan Allah selalu
memberikan kepada manusia itu jalan yang baik dan yang buruk. Hanya makhluk
yang berakal lah yang dapat melihat garis takdir ini, maka dari itu gunakanlah
akal kita untuk memilih kepada kepabaikan dan menjauhi kepada keburukan.
Allah dengan Maha
penyayangnya pula telah pun memberikan petunjuk kepada kita agar tidak
kesulitan mengambil arah mana kita akan berpijak. Karena memang terkadang
manusia merasa bingung kearah mana yang harus mereka ambil dengan pertimbangan
apakah arah itu menuju kepada kebaikan atau keburukan. Sehingga Maha
sempurnanya Allah yang telah menetapkan semuanya secara teratur dengan
menurunkan kitab-kitab sebagai pentunjuk dan seorang Nabi dan Rasul sebagai
pengajar, Wallahu a’lam.
Artikel diatas dipelajari sebagai bahan diskusi, bukan sebagai hujjah, karena penulis bukan seorang ulama, melainkan hanya pemikir yg mengajak orang lain juga ikut berpikir.
ReplyDelete