Musik Dalam Timbangan Al-Qur'an & Sunnah (Ustadz Adi Hidayat)
Baru-baru
ini viral sebuah pandangan yang menyorot pendapat dari Ustadz Adi Hidayat yang
mengatakan bahwa Q.S asy-Syu’ara merupakan surah pemusik. Beliau menerangkan
hal tersebut dalam forum diskusi antara para pengkaji Islam, dan beliau
memaparkan posisi beliau mengenai musik. Beliau mengatakan bahwa musik memiliki
hukum yang sama seperti nikah, ia dapat menjadi boleh hingga halal, dapat pula
menjadi makruh hingga haram mutlak, tergantung untuk apa musik itu ditujukan. Inilah
yang dipermasalahkan oleh kelompok yang mengambil suatu hukum bahwa musik itu
haram absolut, padahal argument yang dikomentari mereka merupakan potongan
video yang akhirnya disimpulkan terhadap suatu hal.
Padahal kasus
ini merupakan kasus lama yang terjadi ketika tahun 2017 yang diajukan oleh kelompok
sebelah dan kawan-kawan untuk bertabayyun kepada Ustadz Adi Hidayat mengenai
hal ini, namun dalam akun Instagramnya ia (salah satu perwakilan kelompok
sebelah sekaligus orang yang nantinya akan juga dibahas oleh Ustadz Adi Hidayat
dalam penjelasannya) menuturkan bahwa Ustadz Adi Hidayat tidak mau bertemu,
hingga mereka merasa kecewa. Kemudian akhir-akhir ini kasus tersebut viral
kembali hingga mewabah kedalam beberapa kalangan, dan kelompok yang sepaham
dengan perwakilan kelompok sebelah ini sangat antusias membeberkan kasus ini
hingga ada yang mencela beliau (UAH) dengan kata-kata yang seharusnya tidak
dilontarkan oleh sesama muslim.
Tidak
berapa lama, akhirnya Ustadz Adi Hidayat mempublish sebuah video dalam channel youtubenya
“Adi Hidayat Official” yang awalnya disiarkan secara live pada 5 Mei 2024 menjelaskan
mengenai pendapat beliau terhadap statement yang diviralkan oleh kelompok sebelah,
berikut dengan celaan dari kelompok-kelompoknya (umat yang mengikuti). Namun yang
ingin penulis angkat bukan mengenai fenomena yang telah terjadi berkaitan
dengan cela’an atau viralnya kasus ini, melainkan memaparkan rangkuman dari
penjelasan Ustadz Adi Hidayat dalam memposisikan dirinya terhadap musik yang
berasas pada Al-Qur’an dan hadits yang dikaji secara kontekstual melalui
pendekatan historis.
1. Pertama beliau
(UAH) menjelaskan mengenai definisi secara linguistik, beliau menuturkan bahwa Asy-Syu’ara
merupakan nama surah yang ada di dalam Al-Qur’an yang diartikan sebagai para
penyair. Kata ini berasal dari kata “Syi’ir” (ism), pelakunya disebut sebagai “Sya’ir”
(Fail). Disebut asy-Syu’ara karena bentuk jamak dari Sya’ir.
2. Konteks Sya’ir
dalam bahasa Arab berbeda dengan konteks Sya’ir dalam bahasa Indonesia. Beliau menjelaskan
bahwa terdapat perbedaan antara pemahaman istilah Sya’ir dalam bahasa Arab dan istilah
Sya’ir dalam bahasa Indonesia, hal ini merujuk pada peristiwa sejarah turunnya
Q.S asy-Syu’ara pada masa itu. Dalam bahasa Arab Sya’ir merupakan orang-orang
yang membuat lirik indah disertai dengan nada/irama tertentu. Sementara Sya’ir
dalam term Bahasa Indonesia hanya berupa tulisan-tulisan indah seperti sajak,
puisi, lirik manis dan lain-lain. Sehingga pada konteksnya pen-sya’ir pada masa
itu sudah pasti disebut sebagai pemusik/Musisi karena menciptakan lirik-lirik
indah disertai dengan nada-nada/irama tertentu (adapun jika nanti disertai
dengan alat maka istilahnya akan berubah, bukan lagi disebut Syi’ir dalam
konteks bahasa Arab) dan karya-karya pen-Sya’ir yang hebat pada masa itu akan
dipajang di Ka’bah dalam bentuk Kiswah, sebelum akhirnya diganti menjadi ayat
Al-Qur’an pada masa Islam.
3. Syi’ir
dalam konteks bahasa Arab menjadi haram karena dipakai oleh orang-orang
jahiliyyaj untuk bermaksiat. Biasanya syi’ir ini dipakai untuk mabuk-mabuk, merayu
perempuan hingga akhirnya berzina dan lain-lain. Selain itu Syi’ir juga dipakai
untuk menyerang Nabi Saw (sebagaimana yang dilakukan oleh istri Abu Lahab,
karena ia merupakan seorang pen-Sya’ir)
4. Mengacu pada
Q.S asy-Syu’ara khususnya pada ayat-ayat terakhir 224-227, beliau (UAH) menuturkan
bahwa pada ayat 227, ada pengecualian diperbolehkannya Syi’ir bagi Sya’ir
(dalam konteks bahasa Arab, Bahasa, Sejarah, beliau juga mengutip tafsir
al-Munir karya Syekh Wahbah az-Zuhaili dan tafsir at-Thabari) yang bertujuan
untuk membela Nabi Saw dari serangan para Sya’ir Jahiliyyah yang menyerang Nabi
Saw. Disebutkan dalam kisah ini adalah sahabat bernama Abdullah bin Rawahah,
Hasan bin Tsabit.
5. Hukum syi’ir
yang demikian itu (yang disertai dengan dendang lagu, nada dan irama) dibagi
menjadi 3 pendapat dari para ulama, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada
yang menghalalkan dan ada yang menghalalkan dengan syarat, yaitu jia syi’ir itu
tidak tahally atau melalaikan dari ketaatan kepada Allah. Beliau juga memberi
satu konsekuensi logis dari pengharaman mutlak, bahwa jika mengambil hukum
haram mutlak terhadap musik, maka perlu dipertanyakan mengapa Rasulullah Saw dahulu
membiarkan ada sahabat yang menikah kemudian diiringi dengan musik. Apabila ini
merupakan pengecualian, maka melanggar kaidah fiqh bahwa “pengecualian terhadap
hukum haram mutlak adalah bentuk darurat” lantas apakah pernikahan merupakan
hal yang darurat?. (sayangnya UAH tidak menyebutkan matan dari hadits tersebut
sehingga penulis tidak bisa mentakhrijnya lebih jauh).
6. Beliau sendiri
pada dasarnya tidak menyukai music dan menyarankan para muridnya yang menghafal
Al-Qur’an untuk menjauhi musik. Hal ini beliau ungkapkan karena gelombang musik
dan gelombang irama dalam Al-Qur’an itu berbeda, sehingga bisa menggoyahkan
hafalan.
7. Statement
beliau yang terakhir adalah “Al-Qur’an bukan musik, Al-Qur’an bukan musik, Al-Qur’an
bukan musik”
Komentar penulis:
1. Dalam menanggapi
suatu masalah yang terkait dengan perbedaan pandangan haruslah lebih dewasa ditambah
lagi terhadap sesama muslim, karena tidak dianjurkan bagi sesama muslim untuk
mencela muslim lainnya apalagi memberikan suatu hukum terhadap suatu individu
tanpa terjadinya proses tabayyun, hal ini tentu akan menimbulkan fitnah bagi sesama
muslim dan berpotensi memecah belah umat muslim pada bagian-bagian tertentu. Semua
orang berhak mempunyai pandangan yang berbeda karena memang Allah menciptakan
akal pikiran agar manusia mampu berfikir, jika mencela pikiran orang lain, maka
mencela ketetapan Allah terhadap manusia agar mampu berfikir dan diwajibkan
untuk berfikir.
2. Untuk mengambil
satu model penafsiran, perlu untuk memahami konteks secara lebih jauh dan lebih
luas. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Ustadz Adi Hidayat.
3. Terdapat satu
kaidah bahwa apabila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang bukan ahlinya, maka
tunggu kehancurannya. Sebagaimana yang kita tau Ustadz Adi Hidayat memiliki
latar belakang Riwayat belajar S1 dengan jurusan Sastra Arab, S2 yang juga berkutat
masalah Lughah sehingga akan sangat mungkin bahwa beliau menguasai ilmu bahasa
Arab berikut dengan sastra yang terkandung didalamnya. Berbeda jika konteks
bahasa Arab dipahami oleh orang-orang yang berlatar belakang S1, S2 Teknik
kemudian dalam kelompoknya ia disebut sebagai Ustadz. Tentu hal ini tidak pada
tempatnya, maka jangan heran informasi yang disampaikan tidak konkret.
4. Satu hal
yang penulis garis bawahi dari apa yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat
dalam penjelasan beliau selama 1.40 menit tersebut bahwa, “Jangan mencela satu
sama lain hanya karena berbeda pandangan, kita harus bisa belajar husnudzan
karena mungkin saja informasinya belum sampai kepada mereka. Dan jangan jadikan
penjelasan saya sebagai sarana untuk menyerang pihak lain, karena jika anda
mengaku murid saya, saya tidak akan menganggap anda murid saya.”
Link: https://www.youtube.com/result?search_query=ustadz+adi+hidayat
Comments
Post a Comment