Pemikiran Rene Descartes, John Locke hingga Immanuel Kant serta Implikasinya terhadap Pendidikan |By: Herman Dr
Descartes
dalam prinsipnya mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” yang artinya Aku berpikir
karena itu aku ada. Descartes membedakan antara subjek (Cogito, Pikiran) dan
dunia (Sum, Ada). Antara kepala dan dunia dihubungkan oleh media ilmu
pengetahuan (Ergo) melalui aktivitas berpikir sehingga jika tidak dipikirkan
(olehku) maka dunia tidak ada. Bagi Descartes “Aku” adalah sesuatu yang
berpikir dari luar dunia sehari-hari, sebab itu universal. Dalam artian subjek
membutuhkan informasi tentang objek agar ia bisa memikirkannya.
Hal
ini sama dengan pernyataan bahwa Informasi tentang sesuatu berarti ilmu tentang
sesuatu. Subjek yang berpikir melihat objek yang dipikirkan dari sebuah jarak
agar diperoleh hasil pengamatan yang objektif, termasuk tentang dirinya
sendiri. Hal ini menandakan bahwa sumber pengetahuan adalah diri seseorang itu
masing-masing atau berasal dari pikiran setiap manusia, yang mana hal ini
dirumuskan kemudian menjadi paham Rasionalisme.
Sebagaimana
teorinya, rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah
Rasio. Tanpa rasio, mustahil manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Rasio
adalah berpikir. Maka dari itu, berpikir inilah yang kemudian membentuk
pengetahuan. Semakin banyak manusia berpikir maka semakin banyak pula
pengetahuan yang didapatnya. Namun bagi paham ini pada dasarnya mereka tidak
menolak empiris sebagai sarana dalam mendapatkan pengetahuan, hanya saja paham
mereka terhadap inderawi tidak sekuat paham orang-orang empirism. Rasionalism
menganggap bahwa pengalaman hanya digunakan dalam rangka mempertehas
pengetahuan yang didapat oleh akal. Pengalaman menjadi dasar perangsang bagi
akal serta memberikan bahan-bahan bagi akal untuk dapat bekerja.
Adapun
kontribusi pemikiran Descartes terhadap Pendidikan ialah bahwa dengan pemikiran
rasional atau metode berpikir yang sistematis maka akan didapati sebuah konsep
Pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan logis sebagai
landasan pengetahuan yang kuat. Konsepnya tentang metode analitik dalam
memecahkan masalah membantu membentuk metodologi pembelajaran di bidang
matematika. Fisika, kimia dan ilmu pasti lainnya. Selain itu dari sini kita
juga dapat mengkorelasikannya dengan pembaharu Pendidikan yaitu Paulo Freire
yang menegaskan Pendidikan kritis, mengubah system Pendidikan dinegaranya dari
Banking Education Concept menjadi Dialog Concept Education.
John
Locke. Dalam hal ini John Locke menolak aliran Rasionalisme
yang dianut oleh para pemikirnya, seperti Plato hingga Descartes. Karena
menurut John Locke, akal manusia hanyalah seperti lembaran kertas kosong
(Tabularasa) yang seluruh isinya berasal dari induksi (Pengalaman/Empirisme).
John Locke dengan konsep empirismenya berusaha membebaskan diri dari
bentuk-bentuk spekulasi spiritual yang menandai tradisi metafisika tradisional.
Sehingga John Locke memisahkan filsafat dari teologis. Dan hal ini tentu bertentangan
dengan pemikir Islam, salah satunya yang seirama dengan John Locke adalah Ibn
Kahldun, namun Ibn Khaldun memandang empirisme tidak hanya yang berasal dari
dunia nyata saja, namun hal-hal metafisis juga bisa menjadi pengetahaun bagi
manusia dari sudut pandang induksinya.
Dalam
pandangangannya,pengalaman menjadi sebuah doktrin untuk mengafirmasi bahwa
semua pengetahuan pada akhirnya didasarkan pada pengalaman. Demikian juga teori
empiris mengenai makna atau pemikiran, yang menyatakan bahwa makna dari
kata-kata atau konsep adalah turunan dari pengalaman. Pengalaman dalam konteks,
mode apa saja dari kesadaran yang mana sesuatu tampaknya hadir dan terberi
kepada subjek. Keadaan tersebut berbeda dengan aktivitas mental berpikir
mengenai sesuatu. Pengalaman dapat dipahami dari seornag empiris yang berfokus
pada pengalaman indra, yaitu mode kesadaran yang dihasilkan dari stimulasi
pancaindra. Jika merunutkan dari segi historis terciptanya pola pikir Empiris
yang dipelopori oleh John Locke yang kemudian diikuti oleh Thomas Hobbes,
Berkeley dan David Hume ini adalah bahwa John Locke pada Langkah awalnya
berupaya untuk menggabungkan teori empirismenya Bacon dan Hobbes dengan
Rasionalisme Descartes. Namun penggabungan ini justru menguntungkan empirisme.
Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa akal tidak bisa memperoleh
pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih
yang kosing, ia hanya menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman
(Induksi). Locke tidak membedakan antara pengetahuan Indrawi dengan akal, namun
yang menjadi satu-satunya objek menurut Locke adalah ide-ide yang timbul karena
adanya pengalaman lahirian dan karena pengalaman batiniah.
Adapun
kontribusi pemikiran John Locke terhadap Pendidikan ialah menekankan Pendidikan
yang berakar dari keluarga. Sebagaimana pemikirannya terhadap pengetahuan yang
berasal dari pengalaman, maka dari itu orang tua sangat berperan dalam
menjadikan anak menjadi dirinya sendiri melalui kasih saying yang diberika,
kemudian sekolah dan terkahir lingkungan. Tidak sampai di situ, dalam dunia
Pendidikan pula anak tidak dibenarkan pemberikan hukuman ataupun hadiah, karena
akan membuat anak didik mempunyai perbuatan yang semu, artinya berpura-pura
dalam menyukai Pelajaran. Dengan begitu Pendidikan berasas empirisme harus
bersifat praktis, berguna dan menyenangkan bagi anak didik. Orang tua ataupun
pendidik harus menjadi contoh dan memperlihatkan kepribadian yang baik.
Selain
itu dalam pandang empirisme, maka menghasilkan metode pengajaran yang
mengharuskan pendidik menyajikan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan anak
tersebut berdasarkan tingkat pemahamannya. Karena sekolah ada sebagai sarana
pembinaan dan Pendidikan anak-anak untuk mengembangkan segala bakat dan potensi
yang dimilikinya. Maka dari itu pemikiran Empiris menekankan Pendidikan yang
berpusat pada pengalaman, pengamatan dan budi pekerti. Dalam Kurikulum Merdeka
pengaplikasian nilai Empirisme ini diarahkan pada system P5 yang mengharuskan
anak mengerjakan program yang dijalankan oleh pihak sekolah, sehingga anak
mempunyai pengalaman untuk melakukan sesuatu melalui aktivitas indrawinya.
Immanuel
Kant
hadir untuk mendamaikan kedua pemikiran ekstrim diatas yaitu rasioanlisme dan
Empirisme. Kant menawarkan pemikiran untuk mejawab pertanyaan pemikiran manusia
tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan mausia diperoleh, apakah dari
rasio ataupun indrawi atau bahkan dari Tuhan. Kant memandang bahwa rasionalisme
dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman
sebagai sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan
sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori. Dalam artian
kebenaran bukan hanya pada rasio melainkan juga pada hasil indrawi. Kant datang
dengan prinsip Kritisisme dengan menggabungkan kedua aliran di atas. Paham ini
tidak murini rasioanal dan tidak murni empiris, namun menggabungkan antara
unsur-unsur dari kedua aliran tersebut. Kant beranggapan baik rasionalisme dan
empirisme belum berhasil membimbing manusia untuk memperoleh pengetahuan yang
pasti, berlaku umum dan terbukti jelas.
Kant
mengatakan bahwa pengatahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalis tercermin
dalam putusan yang bersifat analitik-apriori (mendahului pengalaman), yaitu
suatu bentuk putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam
subjek. Ciri dari paham ini mengkonstruksi sebuah system pengetahuan yang
dilengkapi dnegan dimensi universitas atau keniscayaan. Namun, jenis
pengetahuan ini bersifat tautologis, hanya pengulang dan kurang andal, karena
tidak menyajikan sesuatu yang baru. Sementara pahamnya terhadap empirisme
tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori (setelah
pengalaman), yaitu suatu bentuk paham dimana predikat belum termasuk ke dalam
objek. Pandangan ini tercantum pada bukunya Critique of Fure Reason, yang
secara komprehensif membentuk konsep epistimologi yang dikenal dengan nama
filsafat kritisisme atau filsafat transendental.
Dalam
hal Pendidikan sebagaimana teori di atas juga membagi sumber pengetahuan dalam
Pendidikan menjadi 2, yaitu akal dan pengalaman yang dikombinasikan sebagai
sikap Kerjasama. Kant menjelaskan bahwa kemampuan manusia dalam mengetahui
realitas karena rasio hanya mampu menjangkau gejala-gejala atau
fenomena-fenomenanya saja, kemudian ia juga menjelaskan bahwa pengenalan
manusia atas segala sesuatu diperoleh dari perpaduan antara unsur-unsur apriori
dan aposteriori sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam artian ia menggarisbawahi
terhadap pentinya pembentukan karakter moral dan pengembangan akal budi yang
otonom. Pendidikan harus membantu individu dalam memahami prinsip-prinsip moral
dan etika yang mendasar, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang baik
dan bertanggung jawab.
Penggunaan
akal dari perspektif a priori menurut Kant adalah menunjukkan karakter konsep
moral, tetapi tidak menunjukkan prioritas konsep mereka, karena ini tidak perlu
demonstrasi. Karakter objektif dari fakta ini tidak dapat disimpulkan secara
teoritis, juga tidak dapat dikonfirmasi oleh pengalaman. Ringkasnya, kita tidak
dapat mengatakan secara apriori Kant memahami semua pengetahuan yang terlepas
dari pengalaman, dari kesan indra. Jenis pengetahuan ini dirincikan dengan
memasukkan hukum-hukum logis yang berlaku universal untuk semua makhluk
rasional. Kant meyakini seseorang dalam bertindak selalu dipengaruhi 3 unsur
utama berupa kebebeasan berkehendak, immortalitas jiwa dan keberadaan Tuhan.
Begitu pula Pendidikan moral, seseorang bertindak atau berakhlak diawali dengan
kebebasan otonomnya sebagai manusia yang dapat memilikuh mana tindakan yang
diinginkan sebagai bukti bahwa jiwanya masih ada.
Dalam tujuannya
dalam konsep etika, Kant ingin membawa manusia pada puncak kebahagiaan
tertinggi yaitu Tuhan. Dalam etika Kant juga terdapat etika yang bersifat
manusiawi. Namun hal ini terdapat hubungan antara pandangan etik Kant dan
akhlak Islami. Kant memahami Pendidikan sebagai melibatkan proses yang teratur
dari perawatan, disiplin, intruksi dan pembentukan melalui enkulturasi,
pembudayaan dan moralisasi. Pembentukan karakter merupakan bagian dari
imperative kategorial Kant, sebab seorang murid tidak hanya belajar untuk waktu
kini, melainkan juga untuk waktu yang mendatang.
Comments
Post a Comment