Apakah benar Gen Z di Indonesia lebih takut miskin daripada takut nggak menikah?


Hari-hari kita sering dipertemukan dengan keluhan “biaya hidup makin g1la”, “gaji nggak gerak”, dan “harga resepsi makin mirip DP rumah”. Di sisi lain, timeline media sosial penuh konten pernikahan yang super apik, yang sayangnya ikut menstandarkan biaya pernikahan. Alhasil banyak anak muda memilih menunda nikah sampai keuangan mapan, bukannya anti‑romantis tapi kalkulator pendapatan sedang bekerja.


Dari sisi angka, tren menunda pernikahan memang nyata. Dikutip dari laman GoodStats, pada 13 Maret 2024 disebutkan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia turun hampir 30% dalam sepuluh tahun terakhir. Tren nikah muda semakin ditinggalkan seiring ekonomi yang menuntut lebih banyak persiapan. Selaras dengan itu, survei Populix yang diringkas Databoks menunjukkan mayoritas anak muda atau Gen Z dan Milenial, menilai usia ideal menikah adalah 25–30 tahun (61% responden). Artinya, ada pergeseran norma, bukan lagi cepat‑cepat tapi siapkan dulu. Pada level ini, sejalan dengan data usia kawin pertama versi liputan ekonomi yang merujuk BPS. Pemuda laki‑laki rata‑rata menikah pertama kali di usia 22-23 tahun dan perempuan 20-21  tahun. 


Selain itu muncul faktor takut miskin, dari mana asalnya? 


Salah satunya adalah biaya menikah yang tidak kecil. Dikutip dari laman Liputan6, pada 1 Februari 2024 disebutkan, survei menunjukkan 41,9% responden menyiapkan biaya 50 –100 juta untuk menikah. 21,9% menarget 100–200 juta, dan sekitar 2,2% bahkan di atas 400 juta. Boleh dibilang, budget resepsi saja sudah tampak seperti proyek infrastruktur mini dan itu baru hari H, belum kehidupan setelahnya. Maka tidak aneh kalau anak muda berpikir dua kali, lebih baik menata karir, menambal dana darurat, dan memberesi utang dulu. Bahkan, ada temuan lucu namun pahit, sebuah survei komunitas pernikahan menyebut 67% pasangan 2023–2024 berhutang demi biaya resepsi. Fenomena yang, apapun konteksnya, menambah alasan untuk tidak terburu‑buru menikah.


Meski begitu, takut miskin bukan sekadar soal resepsi. Ini juga tentang landscape ekonomi. Di global, Gen Z banyak yang mendefinisikan sukses sebagai stabil finansial dulu. Dikutip dari laman EY, pada 29 Mei 2025 disebutkan bahwa prioritas Gen Z adalah relasi, kesehatan, dan stabilitas finansial. Mereka sedang menata ulang arti mapan di kepala mereka. Bahkan data di Amerika, yang sering di jadikan rujukan arah tren, 94% Gen Z menarget kemandirian finansial sebelum 55 tahun dan ingin mencapainya lebih cepat. Mereka skeptis terhadap karier 9 to 5 klasik dan mencari sampingan, freelance, atau bisnis. Beda alasan dengan kita, tapi ritme pikirnya mirip, jangan menikah dulu kalau pondasi dompet belum kuat.


Di Indonesia, beban biaya hidup juga menekan. UMR/UMP yang naiknya terbatas, harga kontrakan yang kalemnya hanya di spanduk, ongkos transportasi yang tak kunjung turun, belum lagi harga bahan makanan, semuanya melengkapi narasi dompet Gen Z. Kalau sebagian memilih lebih takut miskin daripada nggak nikah, itu bentuk kehati‑hatian, bukan anti nilai keluarga. Ada juga variabel nilai, sebagian Gen Z ingin menikah, tapi dengan standar kualitas hubungan yang realistis, punya mental sehat, tabungan darurat, dan rencana hidup yang tidak menambah beban satu sama lain. Pelan tapi pasti, yang sayangnya, kadang disindir kebanyakan mikir.


Dikutip dari laman Databoks yang merangkum survei Populix, pada 14 Februari 2025 disebutkan 61% responden tetap ingin menikah di usia 25–30, 32% memilih 20–25, sisanya 7% di 30–35. Ini menandakan mayoritas masih pro‑nikah, hanya timeline‑nya bergeser. Sementara itu, liputan JawaPos yang mengutip Populix menyatakan alasan umum menunda menikah adalah ekspektasi orang tua dan keterbatasan anggaran, dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari realitas ekonomi keluarga dan budaya hajatan. 


Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi? Pertama, kurangi memvonis. Menunda nikah demi menata finansial bukan dosa sosial. Itu strategi bertahan. Toh, data niat menikah masih mayoritas “iya” di usia 25–30. Kedua, realistik soal biaya. Kalau budaya resepsi makin mahal, jangan heran kalau niat menikah ikut mahal. Dukungan keluarga untuk format resepsi yang sederhana, bahkan sangat sederhana, akan memotong banyak hambatan. Ketiga, literasi finansial pasangan. Menikah tanpa dana darurat, tanpa rencana utang, dan tanpa pembagian peran ekonomi yang jelas, biasanya melelahkan dan lebih cepat daripada pacaran panjang. Saran sarkas tapi manis, sebelum beli souvenir, beli spreadsheet keuangan dulu.


Pernyataan Gen Z lebih takut miskin daripada nggak nikah memang terdengar menusuk, tapi pada dasarnya ia merangkum realita prioritas, ingin keluarga, iya. Ingin hidup masuk akal, lebih iya. Data menunjukkan niat menikah tetap ada, hanya geser ke usia yang lebih matang. Alasan penundaan paling sering kembali ke ongkos, ongkos resepsi, ongkos rumah, ongkos hidup. Dalam iklim seperti ini, kehati‑hatian adalah bentuk kasih sayang pada masa depan.

 

Dan kalau ada yang bilang Gen Z “kebanyakan mikir”,  jawabannya sederhana. “Biar kami mikir sekarang, supaya nanti ketika nikah, kami nggak sibuk mikirin tagihan.”

---

By: Pecah Telur

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Teman-Temanku di Pascasarjana (M) Lokal PAI C 23

Mengomentari Statement Prilly Latuconsina mengenai cewek Independen yang semakin banyak dan cowok mapan yang terhitung sedikit

Tokoh Pendidikan dan Pemikirannya #2 Lev Vygotsky |By: Herman Dr